-->
Seven

Rahasia Terbesar ”QURBAN”
(oleh: el-pitu)

Tak ada satu hal apapun yang terjadi didunia ini tanpa suatu maksud dan tujuan serta hikmah dari sang sutradara semesta raya. Begitupun dengan dengan peristiwa pengurbanan seorang hamba kepada Tuhannya, menjadi catatan emas dalam sejarah umat manusia yang dilakonkan oleh dua orang kekasih Allah, Ibrahim Alaihissalam dan putra tercintanya Ismail Alaihissalam. Meskipun tidak semua orang khususnya umat islam yang dapat mengetahui hikmah tersebut. Karena memang hanya Allah sendiri yang mengetahui sepenuhnya rahasia dan hikmah seluruh peristiwa yang telah dan akan terjadi. Namun demikian sudah seharusnya kita belajar dan merenungkan hal itu guna memperkuat dan mempertebal iman dan aqidah keislaman.

Hikmah-hikmah peristiwa dalam sejarah kenabian dan kerosulan sendiri ada yang diungkap dalam kitab suci Al-Quran atau sunnah Rasul, ada pula yang tidak disinggung sama-sekali. Bagian hikmah yang tidak disinggung ini, hanya dapat diketahui dan dihayati oleh kalangan tertentu, yang dalam Al-Quran dinamakan Arrasikhuuna fil-‘ilmi, yakni mereka yang kuat imannya dan kelebihan ilmu oleh Allah, yang tidak diberikan kepada orang lain (QS Ali Imran, 3:7)

Adaun di antara hikmah ibadah Qurban, ialah untuk mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah atas segala kenikmatan yang telah dilimpahkan-Nya yang jumlahnya demikian banyak, sehingga tak seorangpun dapat menghitungnya (QS Ibrahim, 14:34). Hikmah secara eksplisit dan tegas tentang ibadah qurban ini, telah diungkapkan dalam Al-Quran:
"… maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta)dan orang yang minta.
Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu,
Mudah-mudahan kamu bersyukur" (QS Al-Haj, 22:36)

Hikmah selanjutnya adalah dalam rangka menghidupkan sunnah para nabi terdahulu, khususnya sunnah Nabi Ibrahim, yang dikenal sebagai Bapak agama monoteisme (Tauhid), Ibadah qurban berasal dari pengurbanan agung yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap puteranya guna memenuhi perintah Allah. Allah sangat menghargai dan memuji pengurbanan Nabi Ibrahim yang dilandasi oleh iman dan taqwanya yang tinggi dan murni, kemudian mengganti puteranya Ismail yang akan dikurbankan itu dengan seekor hewan domba yang besar (QS Ash-Shaffat, 37:107).

Dan hikmah berikutnya adalah dalam rangka menghidupkan makna takbir di Hari Raya Idul Adha, dari tgl 10 hingga 13 Dzul-Hijjah, yakni Hari Nasar (penyembelihan) dan hari-hari tasyriq. Memang Syari-at agama kita menggariskan, bahwa pada setiap Hari Raya, baik Idul Fitri ataupun Idul Adha, setiap orang Islam diperintahkan untuk mengumandangkan takbir. Hal ini memberikan isyarat kepada kita, bahwa kebahagiaan yang hakiki, hanya akan terwujud, jika manusia itu dengan setulusnya bersedia memberikan pengakuan dan fungsi kehambaannya di hadapan Allah s.w.t. dan dengan setulusnya bersaksi bahwa hanya Allah sajalah yang Maha Besar,Maha Esa, Maha Perkasa dan semua sifat kesempurnaan lainya.

Kebahagiaan yang sebenarnya akan tercapai, apabila manusia menyadari bahwa fungsi keberadaannya didunia ini hanyalah untuk menjadi hamba dan abdi Allah, bukan abdi dunia, ataupun abdi setan (QS Al-Dzarriyat, 51:56), bukan pula abdi bagi nafsu yang tidak lain adalah wujud jiwa raganya sendiri, yang kental dengan sifat iblis yang abaa wastakbaro(acuh dan menyombongkan diri).

Di samping itu semua, Hari Raya Qurban pun merupakan Hari Raya yang berdimensi sosial kemasyarakatan yang sangat dalam. Hal itu terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan yang akan dikorbankan, para mustahik yang akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul. Mereka satu sama lainya meluapkan rasa gembira dan sukacita yang dalam. Yang kaya dan yang miskin saling berpadu, berinteraksi sesamanya.

Agama mengajarkan bahwa semua ibadah hendaknya dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah (QS Al-An’am, 6:162-163). Tak terkecuali ibadah haji dan ibadah Qurban. Karena hanya dengan niat yang terikhlaslah, akan terjamin kemurnian ibadah yang akan membawa pelaksanaannya dekat kepada Allah. Tanpa adanya keikhalsan hati, mustahil ibadah akan diterima Allah (QS Al-Bayyinah, 98:5)

Dalam kaitan dengan ibadah qurban, Allah menegaskan bahwa daging hewan yang diqurbankan itu tidak akan sampai kepada-Nya, hanyalah ketaqwaan pelaksana qurban itu (ketaqwaan yang bermakna kesedian dengan ihlas secara totalitas untuk tunduk patuh atas perintah-Nya khal mayyitilghosili/seperti mayat yang sedang dimandikan, dengan mengurbankan segala bentuk keakuan akan ako-akon/rasa memiliki perihal dunia, untuk diserahkan pada KeAkuan Tuhan sebagai sang empunya segalanya). Jadi Allah tidak mengharapkan daging dan darah hewan qurban itu, tetapi MENTAL KETAQWAAN (yang bersumber dari keihlasan serta rasa syukur yang sejati murni yang merupakan inti ibadah), dan hal ini tidak akan tumbuh melainkan di hati hamba-Nya yang diridhoi dan ditarik dengan belas kasihnya.

Dan agar supaya kita dijadikan hamba yang ditarik dengan ridho dan kasihnya itu, maka kita harus terus belajar dan menyadari bahwa kita adalah hamba yang Al Faqir, yang mana jangan kan untuk bekerja dan berkarya, berharta benda hingga mampu berqurban, bahkan bernafaspun tidak bisa tanpa daya dan kekuatan-Nya, lebih celakanya lagi bahwa ternyata dengan daya dan kekuatan-Nya itu ternyata hanya kita gunakan untuk menambah salah dan dosa, kesadaran semacam inilah yang harus selalu kita tanamkan dalam hati, sebagaimana dicontohkan Nabi Nuh ketika berada dalam perut ikan dengan ungkapannya “Laa ilaha illa anta subkhanaka inni kuntun minaddolimin” sehingga sepenuh hati sadar “Laa khaula walaa quwwata illa billah” Inilah yang dimaksud rahasia terbesar dalam memaknai ibadah qurban.

Ibadah qurban mempunyai hikmah untuk membersihkan hati agar menjadi lahan yang subur untuk tumbuhnya iman dan taqwa. Dengan demikian, dimensi keikhlasan sudah seharusnya menjadi landasan setiap amal perbuatan manusia, agar manusia mengorientasikan kehidupannya semata-mata untuk mencapai ridha Allah s.w.t. Dengan ikhlas beramal, berarti seseorang membebaskan dirinya dari segala bentuk rasa pamrih (dalam hal duniawi maupun ukhrowi) dan segala bentuk keakuan nafsu, agar amal yang diperbuat tidak bernilai semu dan bersifat palsu. Dengan keikhlasan, seseorang dapat mewujudkan amal sejati. Kesejatian setiap amal diukur dari sikap keikhlasan yang melandasinya.

Dan kesediaan berqurban yang dilandasi rasa keikhalan semata-mata, dapat mengurangi atau mengekang sifat keserakahan dan ketamakan manusia yang merupakan sifat bangsa hewani yang dalam ibadah qurban disimbolkan untuk disembelih(dimatikan/dibersihkan dari hati), setidaknya kecenderungan itu dapat dieliminir dengan membangkitkan kesadarannya agar bersedia berqurban untuk sesamanya. Kesediaan berqurban mencerminkan adanya pengakuan akan hak-hak orang lain, yang seterusnya dapat menumbuhkan rasa solidaritas sosial yang tinggi.

Dengan syari’at qurban ini, kaum muslimin dilatih untuk menebalkan rasa kemanusiaannya, mengasah kepekaannya dan menghidupkan hati nuraninya. Ibadah qurban ini sarat dengan nilai kemanusiaan, mengandung nilai-nilai sosial yang tinggi serta nilai tertinggi aqidah ketauhidan.




Read More..
Label: 0 komentar | | edit post
Seven

CINTA dan PENGORBANAN
(OLEH:el-pitu)


Sebuah ungkapan mengatakan bahwa “Cinta membutuhkan pengorbanan” nah bagaimana jika dibalik. “Pengorbanan membutuhkan Cinta”. Apakah hukum a x b = b x a??? ataukah kedua ungkpan bolak-balik itu masih memiliki makna yang sama, berubah, atau justru berlawanan? Mari kita uraikan bersama, dan mari kita kaji makna lebih mendalam.

Cinta sebuah kata beribu makna, begitulah katanya. Bila sekedar memaknai dan memahami cinta saja tidak ada satu definisipun yang tepat, saya jadi berfikir keras, lalu bagaimana kita bisa memahami apalagi mengimplementasikannya dalam kehidupan??? Yach … kami pun belum bisa mendefinisikan dengan tepat apakah itu cinta, namun disini saya memang tidak akan menbahas apa itu cinta, sebab definisi cinta itu sangat subjektif sekali.

Baiklah, mari kita perhatikan berikut ini.
Cinta itu membutuhkan pengorbanan, bila kita mencintai hal apapun juga, maka cinta itu akan menjelma menjadi makluk yang hudup di dalam perasaan dan pikiran kita. Ia akan mampu memerintahkan sesuatu hal pada kita, merubah suasana hati, cara berpikir kita dan bahkan mampu merubah penampilan sikap mental, serta penampilan lahiriah seorang. Ia bahkan juga bisa memberikan dan membangkitkan power yang dahsyat yang sebelumnya tidak disadari seseorang.

Namu demikian makluk yang satu ini juga akan meminta imbalan yang luar biasa, yang disebut dengan pengurbanan, apapun itu wujudnya, mulai dari pengurbanan perasaan, jiwa, raga, harta bahkan nyawa. Tergantung sebesar dan sekuat apa ia hiudp di dalam diri seseorang. Sedangkan besar kecil, kuat lemahnya ia tergantung bagaimana seseorang memeliharanya, mendidik dan mengarahkannya. Ia bisa menjadi iblis yang siap menggiring seseorang ke lembah kesesatan, ia juga bisa menjadi malaikat yang senantiasa menjaga kita tetap dalam jalur Sirotol Mustaqim.
Cinta, merupakan salah satu referensial ketuhanan seseorang paling signifikan. Artinya, kecintaan seseorang akan menunjukkan besaran kualitas sekaligus kuantitas keimanan seseorang. Dalam arti, cinta bisa menjadi rujukan apa dan atau siapakah tuhan dalam kehidupan seseorang. Lebih jelasnya bahwa kecintaan sesorang membawa seseorang itu untuk menuhankan apa-apa yang dicintainya.

Kecintaan yang berlebihan kepada jabatan misalnya, membawa penuhanan terhadap jabatan, segala amal perbuatan lahir batin, niat, amalan, dan tujuan serta segala gerak-gerik akan terpusat demi, untuk dan karena jabatan. Demikian pula kecintaan terhadap hal-hal lainnya, akan membentuk hierarki penuhanan dalam diri seseorang. Nah, manakala puncak hierarki penuhanan tersebut ternyata tidak diduduki oleh Tuhan yang Allah Asmanya, yang Al-Gaib yang Wajibul Wujud, maka itu tentu akan membatalkan keimanan seseorang, dan itulah orang yang divonis Allah sebagai orang musrik yang tidak terampuni dosa atas kemusrikan itu, Na’udzubillah Mindalik.

Mari kita simak Firman Allah berikut (QS: Al Kautsar)
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu (manusia) nikmat(anugrah) yang banyak. Maka dirikanklah sholat dan berkorbanlah”.
>>makna.... fasholli lirobbika wan Khar------------------------.>

Di bulan Dulhijjah ini kita diingatkan kembali sebuah moment terdahsyat dalam sejarah umat manusia berkenaan dengan “cinta dan pengorbanan”. Ya, pengorbanan cinta demi cinta , pengorbanan akan kecintaan terhadap anak satu-satunya demi sebuah puncak Cinta yang Absolut seorang Rosul kepda Tuhannya. Dalam kisah inilah sebenarnya kita bisa belajar dengan tepat memaknai Cinta dan mengaplikasikannya dengan benar.

Dalam kisah ini terbukti “Cinta membutuhkan pengorbanan”.

Demi Cintanya kepada Allah, dikorbankanlah cintanya kepada Nabi Isamil, lebih dari itu “pengorbanan membutuhkan cinta” artinya untuk mau dan mampu berkorban ternyata butuh Cinta yang benar-benar Cinta bukan cinta semu, sebab bila pengorbanan tanpa cinta itu artinya bukan pengorbanan tapi Istidrot (penglulu) atau bahkan mungkin ………………


Read More..
Label: 0 komentar | | edit post
Seven

me-MAKNA-i ke-BAHAGIA-an
(oleh: el-pitu)


Bicara mengenai bahagia, siapa sich orang yang tidak berharap hidup bahagia dunia, bahagia pula di ahkirat. Boleh dikata bahwa kebahagiaan adalah puncak tertinggi harapan seorang manusia. Dan itu berlaku bagi siapapun yang mengaku hamba, waras lahir batin dan normal. Tidak heran bahwa semenjak seseorang mulai bisa berpikir maka dengan sendirinya akan tergerak untuk memahami apa dan bagaimana bahagia yang sesungguhnya. Meskipun sebenarnya rasa bahagia itu sudah biasa dirasakan semenjak dilahirkan ke dunia ini. Hanya saja kesadaran akan rasa bahagia itu ternyata baru disadari ketika seseorang sudah mulai mampu berpikir dan mencerna berbagai kejadian yang dialami yang ternyata tidak selalu membahagiakan tetapi juga menimbulkan berbagai jenis rasa yang berbeda, susah, gelisah, benci, senang, rindu, sayang, cinta dan seambrek res-res rasa lainnya yang tiada henti terus bermunculan dalam hati seseorang.

Berbagai res-res rasa yang beraneka ragam itu ternyata terus menggerogoti jiwa seseorang dan membuatnya kelimpungan menghadapi dan lebih parahnya banyak yang tidak mampu memahami dan mengendalikannya sehingga tak sedikit yang merasa bahwa hidup begitu kacau dan tak bermakna hingga ada yang menjadi stress, linglung, putus asa dan kawan-kawannya itu.

Pada akhirnya kita mulai mencari-cari dan kemudian menemukan bahwa dari sekian res-res itu ternyata rasa bahagialah yang mampu membuat kehidupan ini menjadi layak untuk dijalani, tanpanya buat apa terus hidup. Menilik pada panemu(pemikiran) yang demikian, dan di sisi lain dari pengalaman selama ini yang nyatanya memang demikian itu yang terjadi dan saya alami sendiri, dan mungkin juga anda, menarik untuk mencoba berbagi pangerten(pemahaman) apa dan bagaimana sebenarnya kita memahami dan memaknai kebahagiaan.

Kebahagiaan yang asal kata "bahagia", diawali dengan ke- dan di akhiri –an berarti menunjukkan "suatu proses menuju bentuk wujud jadi dan sempurna". Awalan ke- menunjukkan suatu arahan, tujuan dan harapan, dan di ikuti kata sifat bahagia serta di kahiri -an yang menunjukkan bentuk jadi semisal masak+an menunjukkan suatu wujud jadi dari proses masak. Maka kalau kita coba pahami, kata kebahagian bermakna "sesuatu hal yang diingini, dituju melalui suatu proses sehingga benar-benar terbentuk dan mewujud sebagai rasa bahagia yang sempurna di dalam hati nurani". Kalau kita perhatikan dari pengertian di atas ternyata untuk mewujudkan kebahagian harus melalui yang disebut proses, dan sudah tentu harus ada bahan dan alat untuk memprosesnya, betul tidak???

Dari sisi hakikat, sebenarnya Allah yang menciptakan manusia yang di karunia perasaan tersebut, juga telah menyiapkan semua bahan yang lengkap yang tersimpan rapi dalam sir/rasa yang sejatinya juga adalah "Fitrah Jati Dirinya Dzat Al Gahibullah yang Wajibul Wujud" dan sangat dekat dalam rasa hati. Adapun alat di dalam diri manusia itu sendiri berupa hati, pikiran, panca indra dan segenap jenggelege raga yang tidak lain adalah wujudnya nafsu.

Selanjutnya terserah pada manusia itu apakah mau mengolah rasa hatinya sehingga tercipta nuansa "surgawi/bahagia" karena digunakan dengan sebenar-benarnya hanya untuk "merasai, mendzikiri ada Wujud Diri-Nya bersama keluar masuknya nafas ”Sebagaimana firman Allah...

"Alaa Bidzikrillahi thatmainnul Qulub”

yang artinya ..."Ingatlah(dalam rasa hati ada dan wujud diri-Nya Allah), dengan berdzikir maka hati akan menjadi tenteram" ataukah menjadikan rasa hati sebagai neraka, karena dipenuhi iri dengki, angah-angah, takabur, dan acuh dari seruan ketaqwaan., serta mengumbar hawa nafsu yang hanya mengejar nikmatnya makan dan syahwat dan lupa kepada sang Pemberi itu semua ”Mburu uceng kelangan deleg”.

Perlu kita mengerti bahwa kebagian yang sebenarnya didambakan itu, bukanlah sesuatu yang bisa diimpor dari luar diri melainkan sepenuhnya hasil produksi domestik hati kita masing-masing. Kebahagiaan bukan terbentuk dari apa yang kita miliki dari luar diri yang terkenal disebut tripel "TA"alias ”harTA, tahTA, waniTA”, bukan pula dari apa yang kita kuasai ”ilmu, kecerdasan, ketrampilan, dll”, bukan pula dari apa yang kita cintai, senangi, sayangi, banggakan, harapan dan impian semu duniawi yang selayaknya hanya sebagai pelengkap saja.

Kebahagian sesungguhnya terbentuk dengan menjadi ”Hamba yang Muhlisina Lahuddin” yakni dengan cara

"Bagaimana kita menerima, memahami, memanfaatkan, mendayagunakan, menyesuaikan segala apa yang ada dalam diri kita dan alam sekitar kita yang dianugrahkan dan dicipta Allah tanpa sia-sia ini, sehingga kita bisa mengerti dan menghayati setiap pemberian sebagai anugrah dan setiap kejadian sebagai rahmat, lalu bagaimana mengamalkannya dengan tulus, ihlas dan tanpa pamrih di jalan yang di ridhoi-Nya, menurut tuntunan dan sunnah Rosul dan para penerusnya yang selalu mengada ditengah kita, menjadikan setiap lakon pitukon kita sebagai wujud nyata proses subkhanaka, menjadikannya pancatan kokoh pulang dengan selamat dan bahagia bertemu lagi dengan-Nya, sebagai wujud nyata ungkapan syukur yang tiada tara atas fadhal dan rahmat di jadikan kita hamba yang diberi petunjuk mengenai Hakekat Jati Dirinya Al Gaibullah yang Allah namanya yang sangat dekat adanya dalam Rasa dan sekaligus dimaukannya menjalani perintah dan mejauhi larangan-Nya".

Sebelum kami akhiri uraian ini, melengkapi kebahagian telah dimaukan-Nya kami menulis artikel ini, kami teringat dengan sebuah ungkapan atau lebih tepatnya doa dari Sunan Kalijaga. Dalam suatu kisah ketika ia selesai mencarikan rumput untuk kuda seorang juragan yang kaya raya, yang kala iyu marah dan menghina sang sunan atas pekerjaannya(sebagai pencari rumput) yang dipandang hina, dan menolak tawaran untuk mencari tambahan rumput, meskipun dengan imbalan berlipat. Karena pada saat itu sang sunan sudah terlalu lelah dan tak kuat lagi, namun dengan ihlas dan sabar serta lemah lembut beliau menjawab ”saya sudah cukup dengan apa yang saya perlukan, dan saya tidak menginginkan lebih dari yang saya butuhkan” lalu mengucapkan doa sebagai berikut:

”Ya Allah jadikanlah aku rela atas kehendak Mu, dan jadikanlah takdir-Mu atas diriku sebagai rahmat bagiku”(Amiiin).
Read More..
Seven

Hari Yang Panjang

Getar gemetar tubuh yang rapuh
Selusuri titian takdir yang getir
Merajut makna sunyi yang takbertepi
Ku coba obati luka 
Hapuskan duka lara 
Tiriskan rasa yang berdarah
Dipagi yang tak lagi terasa cerah
Meski mentari masihlah gagah
Pancarkan cahya ketulusan
Sematkan butir-butir kehidupan baru
Di setiap sudut-sudut materi duniwai

Kadang kidung sunyi terasa begitu damai
Terkadang pula begitu mencekam nurani
Sekeping asa yang dulu kupendam
Terhempaskan selaksa kecewa Read More..
Seven

Antara TAHUN baru dan
TUHAN baru



Entahlah, sudah menjadi tradisi atau memang tak tahu diri. Kita, bahkan saya sendiri terkadang larut dan ikut terbalut dalam suasana suka ria bahkan hura-hura kala dengungan malam tahun baru menggema di berbagai media massa. Berbagai pertunjukan dan tontonan yang sebenarnya tidak memberikan sedikitpun tuntunan, digelar besar-besaran dengan menyajikan hiburan yang membuai dan melupakan kita dari kegundahan yang sehari-hari meliputi kehidupan yang penuh gejolak ini. Seolah ada sesuatu yang berharga saja yang layak disambut dengan suka cita. Yach, katanya sih ”Inilah tahun baru, kita tinggalkan kelabunya tahun lalu dan kita sambut tahun baru dengan harapan baru.”

Begitu eloknya tahun baru bagi kebanyakan orang terlebih bagi mereka yang berduit, mungkin. Bagi sebagian orang tahun baru bukan hanya sekedar nuansa baru, rencana baru, target baru dan baru-baru lainnya. Sebenarnya, ada apakah gerangan dengan tahun baru. Ataukah cuma angka baru yang mengganti angka tahun lama, tanggal lama dan kenangan lama. Saya yakin lebih dari itu semua. Namun di sisi lain ada sesuatu yang sangat tersembunyi yang hampir tidak pernah kita sadari, sesuatu di dalam lubuk hati mengenai arti sesungguhnya ke-baruan yang kita sambut gembira itu. Sesuatu yang menggeliat itu tak lain mengenai”harapan”. Harapan yang senantiasa memacu dan memicu gerak kehidupan manusia. Sudahkah di tahun yang baru 2008 kali ini kita benar-benar mempersiapkan diri menjadi sosok manusia baru dengan jiwa dan semangat baru seperti harapan kita, atau hanya sekedar bualan semu yang segera akan berlalu seiring roda waktu, dan lagi-lagi kita terpuruk dalam rutinitas yang semakin memuncakkan rasa kejenuhan kita menghadapi kehidupan ini.

Kalau kita amati dengan seksama, ketika manusia mulai jenuh dan lelah dengan beragam pola kehidupannya, manusia di era modern ini sedang mengalami apa yang disebut “mundur ke masa depan”. Di katakan mundur, kita bisa amati berbagai fenomena dimana banyak orang mulai berfikir dan bertindak kembali seperti era yang terdahuulu, orang kembali senang dengan konsep-konsep alamiah lagi, semisal penggunaan pupuk organik, orang ingin menerapkan pola tempo dulu yang pada dasarnya memang berkualitas. Hanya saja pola dan cara lama itu dikemas kembali dalam bentuk dan teknik baru yang modern. Pada era industri kita ketahui berbagai produk di produksi secara masal, besar-besaran, kini di era informasi ini orang kembali memasarkan berbagai produk dengan istilah ”sesuai pesanan”. Kini banyak juga kita amati orang mulai kembali pada model pekerjaan rumahan, home-home industri terus digalakkan, wirausahawan muda bermunculan dengan berbagai ide dan inovasi baru. Itulah fenomena spiral pola kehidupan manusia saat ini dan akan begitu seterusnya.

Mungkin ini sisi positifnya, namun sisi negatif yang mengerikan pun turut menyertai pola kecenderungan mundur kedepan tersebut. Kalau dulu dikenal zaman jahiliyah dengan penyembahan berhala berupa patung dan benda-benda mistis. Kini di jaman modern ini pemikiran dan model kejahiliyahan itu kembali di wujudkan sebagai ”jahilyah Super” dalam penyembahannya kepada berhala-bahala teknologi dan produk-produk modernitas lainnya yang serba gemerlap dan wah, canggih dan penuh rekayasa mutakhir.

Tentu bukan kesalahan bila teknologi terus berkembang, namun manusia sebagai subjeknya-lah yang sepenuhnya bertanggungjawab atas semua itu, sebab kemajuan tersebut ternyata tidak diimbangi dengan pemahaman yang benar terhadap sisi ketauhidan. Sehingga entah saking pintarnya atau saking bodohnya barangkali, manusia seolah tidak cukup puas dengan kebijakan dan kudrat Allah. Dangkal dan keringnya nilai aqidah dan tauhid manusia telah melahirkan pandangan yang picik dan ironis sekali, menganggap agama menghambat kemajuan, dipandang begitu kolot dan kaku menghadapi kemajuan cara berpikir manusia yang seolah hendak menyamai/ngembari kemampuan tuhan, dengan berbagai temuan dan produk teknologinya yang sebenarnya tidak ada apa-apanya. Sehingga banyak diantaran kita, menciptakan tuhan-tuhan pribadi berupa ide-ide jeniusnya, teknologinya, kekuasaannya, harta benda kekayaannya dan sebagainya, namun sama sekali kosong dan dangkal akan makna.

Tidak puas dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu mengembangkan Ketuhanan Yang Bersekutu dengan Nafsunya. Tuhan-tuhan yang mereka sembah tidak lain hanyalah pengejowantahan watak ke-akuannya kental, dalam rangka mengembangkan peradaban daging, yang tidak lain bertujuan mengejar nikmatnya makan, kekuasaan, harta benda dan syahwatnya. Semoga di tahun baru ini kita semakin maju dengan ketauhidan yang tetap menyatu dalam

Qalbu.(oleh:el-pitu)


Read More..
Seven

TERLALU

Terlalu banyak tuk diambil, ambillah cukup yang kau butuhkan

Terlalu bermacam ragam tuk dipilih, pilih yang tepat dan bermanfaat
Terlalu sedikit waktu tuk habiskan, gunakan sebagaimana harusnya
Terlalu pendek umur tuk disia-siakan, manfaatkan tuk kebajikan dan kebahagiaan

Lalu.........

Bersyukurlah, berbahagialah, belajarlah, bekerjalah, bermainlah, bersosiallah, bergembiralah, dan beribadahlah serta beristirahatlah, secukupnya !!!!!!!

Read More..
Seven


MERDEKA ATAU MATI

 

Sudah 61 tahun negara ini meneguk manisnya kemerdekaan, merdeka dari penjajah bangsa-bangsa kolonial. Kemerdekaan yang diperoleh dengan perjuangan dan pengorbanan darah, air mata, cucuran keringat, harta benda bahkan ribuan nyawa para pejuang, sudah seharusnya kita sebagai generasi penerus untuk mensyukuri rahmat kemerdekaan itu dengan benar. Dengan mewujudkan apa yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa ini, yakni dengan membangun bangsa ini hingga menjadi bangsa yang berketuhanan yang Maha Esa (bertauhid) dengan sebenar-benarnya bertauhid, berpersatuan dalam kesatuan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta beradab dengan dipimpim oleh hikmat kebijaksaan, menjadi Negara yang sentosa yang dalam istilah lainnya yakni Negara Baldatun Toyyibatun Warabbun Ghafur hingga akhir zaman.

Kenyataannya sekarang, sudahkah cita-cita luhur itu terealisasi??? Pembaca tentu bisa menjawab dengan tepat. Memprihatinkan memang melihat kenyataan yang ada sekarang ini, keprihatin yang mendalam bahwa bangsa ini kian hari justru semakin terpuruk dalam ketidakmenentuan arah. Bangsa ini terjerat dalam kebingungan mendalam, bahkan seakan alampun justru menambah keparahan kerusakan bangsa ini. Seolah tuhanpun tidak mendukung, tentu saja tuhan yang maha benar tidak salah dengan kehendak-Nya. Mungkin saja ini adalah ujian, mungkin pula peringatan keras dari-Nya, atau bahkan mungkin ini adzab??? Bila benar ujian tentu kita harus sabar dan ihlas menerima, bila ini adalah peringatan sudah semestinya segenap penduduk negeri ini introspeksi diri masing-masing, sedang bila ini adalah adzab, Na’udubillah Mendalik, maka wajib bagi setiap yang masih merasa sebagai hamba Tuhan untuk bersegera  kembali pada Taubatan Nasuha.

Memang kita tidak bisa memastikan apa yang menjadi kehendak_Nya, namun kita tentu bisa mengira-ngiranya. Dan yang lebih penting lagi sekarang ini bagi bangsa ini untuk kembali menata diri bukan hanya system dan tatanan berbangsa dan bernegara, tetapi juga tatanan berkehidupan dalam hubungannya dengan sang Maha pemberi kehidupan ini. Sebab setiap pemberian termasuk kehidupan itu sendiri tentu disertai dengan tanggung jawab dalam implementasinya  dengan secara kontinyu dan simultan serta terintegrasi penuh baik dalam tatanan berbangsa, bernegara bermasyarakat, bersosial polotik, berekonomi dan berpendidikan, berumahtangga dan semua sisi kehidupan hingga yang sekecil-kecilnya.

Inilah perkerjaan rumah setiap diri saat ini sebagai manifestasi wujud  syukur atas kehidupan dan kemerdekaan yang merupakan rahmat Allah yang maha kuasa, bila tidak maka bisa saja Allah menarik nikmat kemerdekaan yang selama ini dinikmati bangsa ini, alangkah mengerikannya. Sebagai mana semboyan para pejuang kemerdekaan bangsa ini “Merdeka atau Mati”, generasi bangsa ini selayaknya tetap memegang teguh semboyan ini. Meskipun perjuangan sekarang berbeda, bukan lagi berperang ke medan tempur dengan senjata, melainkan bertempur melawan kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan dan yang lebih berat berat lagi yakni berperang dengan diri masing-masing melawan nafsu yang maunya hanya mengajak kepada kerusakan, kepentingan-kepentingan dan kesenangan diri pribadi, acuh arogan iri hati dan segunung sifat-sifat hewani yang ujung-ujungnya hanya membawa kepada kerusakan diri dan bahkan juga merusak tatanan berkehidupan.

Tetap dengan memegang semboyan merdeka atau mati, merupakan pilihan yang tepat. Merdeka berarti tercapainya kemerdekaan  sejati lahir batin, merdeka lahir terbebas dari penjajahan Negara dan bangsa lain dalam bentuk ekonomi, budaya dan sebagainya serta merdeka batin terlepas dari kungkungan nafsu dengan berbagai sifat-sifatnya yang selalu dalam kerjasama yang intim dengan makluk yang yang bernama iblis dan bala tentaranya termasuk jin, syaiton, sert lelembut seisi jagad. Sedang mati berarti bahwa setiap perikehidupan yang sama sekali tidak sejalan dengan kehendak Allah dan Utusannya yang terus mengada di bumi guna menjadi saksi atas semua perbuatan manusia, sama sekali tidak diberi peluang untuk muncul, bergerak, dan mengotori peradababan bangsa ini.

Semoga seiring dengan bertambahnya usia kemerdekaan bangsa ini, rahmat Allah dicurahkan dari langit dan bumi kepada segenap penduduknya serta dibukakan-Nya mata hati setiap diri sehingga dengan benar bisa melihat kebenaran yang sejati, dengan kesadaran dapat melihat setiap hikmah dibalik setiap peristiwa, dengan ihlas dan syukur serta semangat jihadunafsi dapatnya selalu bisa mengadili diri sendiri hingga tercapai rasa hati yang hurriah tammah (merdeka sejati), dan terwujudlah Negara Indonesia yang merdeka sejati berdasarkan Pancasila. Amin. Akhir kata…Merdeka!!! 

Read More..
Label: 0 komentar | | edit post
Seven


Ngemposke Roso


Hari bergulir, bulan pun berganti. Kembali umat Islam diseluruh pelosok bumi ini dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan. Ada yang menyambut dengan gembira, ada yang merasa biasa saja, ada pula yang mungkin kurang atau bahkan tidak suka. Yang demikian itu tidak lain tergantung dari tingkat dan kulaitas keimanan masing-masing diri. Puasa ramadhan memang merupakan salah satu ibadah ekseklusif, sebab puasa adalah ibadah yang oleh Allah sendiri diwajibkan untuk hamba-hambanya yang merasa beriman. Tentunya pun hanya hamba yang benar imannya saja yang akan benar-benar terpanggil. Sebagaimana fiman_Nya dalam Alqur’an Surat Albaqarah ayat 183 : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Nah…apakan kita sudah merasa terpanggil???

            Puasa dalam pengertian umumnya diartikan menahan diri dari makan dan minum dan hal-hal yang dapat membatalkannya mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari (Maghrib). Pengertian yang demikian memang tidak salah, namun semestinya dimengerti lebih lanjut bahwa puasa bukan sekedar menahan dari makan dan minum dan aspek-aspek lahiriah saja, namun juga meliputi semua aspek dalam diri seseorang lahirah dan batiniah, keduanya harus dipenuhi dijalankan secara simultan, bebarengan, bersamaan sehingga  tujuan puasa membentuk hamba yang “muttaqin”, hamba yang bertaqwa dapat tercapai. Hamba yang demikian adalah hamba yang punya komitmen ilahiah, tadhoru’an wakhifatan dalam kondisi apapun, dimanapun, dan kapanpun. Dan…itu diperlukan latihan yang salah satuna yakni melalui puasa.

            Segaimana uraian di atas, adanya puasa ramadhan merupakan media yang sangat efektif yang disediakn Allah bagi hamba-hambanya yang benar-benar ingin berjihadunafsi memerangi hawa nafsunya yang tidak lain adalah wujud jiwa raganya sendiri, agar dapat dijadikan tunggangan kembali kapada_Nya dengan selamat. Dengan puasa ramadhan raga dilatih untuk topo (noto amrih pono) noto = menata; pono= bagus, baik. Jadi raga ditata, dilatih supaya baik, bagus supaya patuh dan tunduk dijadikan tunggangan marek maring Allah. Sebab bila tidak justru ia akan menjerumuskan manusia pada watak iblis yang aba wastakbara (acuh dan menyombongkan diri). Serta menghinakan manusia pada derajat hewani yang maunya hanya mengejar nikmatnya makan dan syahwat, sedang kepada sang pemberi nikmat sama sekali tidak mau tahu.

            Puasa juga melatih diri untuk membenamkan diri kepada kesadaran ke dalam diri betapa dirinya sebenarnya hanyalah makluk yang apes, faqir yang tidak punya kekuatan dan daya apapun melainkan Illa Billah, oleh dan dengan daya kuat Allah. Dengan kesadaran yang demikian, sebenarnya yang dilatih, ditapani adalah rasa hatinya supaya bisa poso (ngemposke roso), ngempos berarti berhenti sejenak untuk instirahat. Lalu mengapa rasa perlu ngempos dan ngempos dari hal apa??? Perlu dimengerti bahwa hati nurani yang di dalamnya ada rasa, merupakan inti fitrah manusia yang juga merupakan belahan fitrah_Nya tuhan sendiri. Pada hakekatnya rasa ini harus difungsikan hanya untuk mengingat, menghayati dan merasa-rasakan ada dan wujud Dzat yang wajibul wujud yang amat sangat dekat sekali dalam rasa hati manusia. Sebab dalam kesehariannya ternyata rasa tadi hanya habis untuk merasakan segala hal ihwal dunia saja. Merasakan pedasnya sambal, lezatnya makan, merasakan iri hatinya, dengkinya, amarahnya, kecewanya dan seambrek res-res hawa nafsu yang ujung-ujungnya hanya menambah sempit dadanya seolah sedang mendaki langit, menambah gelap dan butanya mata hati dari mendzikiri_Nya.

            Oleh karenanya dengan puasa ramadhan itu, rasa dilatih untuk ngempos, dihentikan. Untuk kemudian dikembalikan pada fungsi aslinya yakni untuk dan hanya untuk mengingat-ingat Dzat yang Allah asmanya yang tersimpan dalam kalimatan baqiyatan, isinya Huwa. Prose yang demikian itu disebut dengan tasfiyatul Qalbi, membersihkan, membeningkan hati. Pada akhirnya hati akan dapat kembali pada keadaan fitrah yang suci. Disitulah letak makna Idul Fitri, kembali pada fitrah setelah melalui proses Puasa “poso”. Pantasalah  junjungan kita Nabi Muhammad SAW pernah mensabdakan bahwa seandainya saja umat Islam mengetahui kemulian ramadhan pastilah ia ingin seluruh bulan dalam setahun itu dijadikan ramadhan semua.

oleh:el-pitu.::(pondoksufi-tanjung)::.

Read More..