-->
Seven

Antara TAHUN baru dan
TUHAN baru



Entahlah, sudah menjadi tradisi atau memang tak tahu diri. Kita, bahkan saya sendiri terkadang larut dan ikut terbalut dalam suasana suka ria bahkan hura-hura kala dengungan malam tahun baru menggema di berbagai media massa. Berbagai pertunjukan dan tontonan yang sebenarnya tidak memberikan sedikitpun tuntunan, digelar besar-besaran dengan menyajikan hiburan yang membuai dan melupakan kita dari kegundahan yang sehari-hari meliputi kehidupan yang penuh gejolak ini. Seolah ada sesuatu yang berharga saja yang layak disambut dengan suka cita. Yach, katanya sih ”Inilah tahun baru, kita tinggalkan kelabunya tahun lalu dan kita sambut tahun baru dengan harapan baru.”

Begitu eloknya tahun baru bagi kebanyakan orang terlebih bagi mereka yang berduit, mungkin. Bagi sebagian orang tahun baru bukan hanya sekedar nuansa baru, rencana baru, target baru dan baru-baru lainnya. Sebenarnya, ada apakah gerangan dengan tahun baru. Ataukah cuma angka baru yang mengganti angka tahun lama, tanggal lama dan kenangan lama. Saya yakin lebih dari itu semua. Namun di sisi lain ada sesuatu yang sangat tersembunyi yang hampir tidak pernah kita sadari, sesuatu di dalam lubuk hati mengenai arti sesungguhnya ke-baruan yang kita sambut gembira itu. Sesuatu yang menggeliat itu tak lain mengenai”harapan”. Harapan yang senantiasa memacu dan memicu gerak kehidupan manusia. Sudahkah di tahun yang baru 2008 kali ini kita benar-benar mempersiapkan diri menjadi sosok manusia baru dengan jiwa dan semangat baru seperti harapan kita, atau hanya sekedar bualan semu yang segera akan berlalu seiring roda waktu, dan lagi-lagi kita terpuruk dalam rutinitas yang semakin memuncakkan rasa kejenuhan kita menghadapi kehidupan ini.

Kalau kita amati dengan seksama, ketika manusia mulai jenuh dan lelah dengan beragam pola kehidupannya, manusia di era modern ini sedang mengalami apa yang disebut “mundur ke masa depan”. Di katakan mundur, kita bisa amati berbagai fenomena dimana banyak orang mulai berfikir dan bertindak kembali seperti era yang terdahuulu, orang kembali senang dengan konsep-konsep alamiah lagi, semisal penggunaan pupuk organik, orang ingin menerapkan pola tempo dulu yang pada dasarnya memang berkualitas. Hanya saja pola dan cara lama itu dikemas kembali dalam bentuk dan teknik baru yang modern. Pada era industri kita ketahui berbagai produk di produksi secara masal, besar-besaran, kini di era informasi ini orang kembali memasarkan berbagai produk dengan istilah ”sesuai pesanan”. Kini banyak juga kita amati orang mulai kembali pada model pekerjaan rumahan, home-home industri terus digalakkan, wirausahawan muda bermunculan dengan berbagai ide dan inovasi baru. Itulah fenomena spiral pola kehidupan manusia saat ini dan akan begitu seterusnya.

Mungkin ini sisi positifnya, namun sisi negatif yang mengerikan pun turut menyertai pola kecenderungan mundur kedepan tersebut. Kalau dulu dikenal zaman jahiliyah dengan penyembahan berhala berupa patung dan benda-benda mistis. Kini di jaman modern ini pemikiran dan model kejahiliyahan itu kembali di wujudkan sebagai ”jahilyah Super” dalam penyembahannya kepada berhala-bahala teknologi dan produk-produk modernitas lainnya yang serba gemerlap dan wah, canggih dan penuh rekayasa mutakhir.

Tentu bukan kesalahan bila teknologi terus berkembang, namun manusia sebagai subjeknya-lah yang sepenuhnya bertanggungjawab atas semua itu, sebab kemajuan tersebut ternyata tidak diimbangi dengan pemahaman yang benar terhadap sisi ketauhidan. Sehingga entah saking pintarnya atau saking bodohnya barangkali, manusia seolah tidak cukup puas dengan kebijakan dan kudrat Allah. Dangkal dan keringnya nilai aqidah dan tauhid manusia telah melahirkan pandangan yang picik dan ironis sekali, menganggap agama menghambat kemajuan, dipandang begitu kolot dan kaku menghadapi kemajuan cara berpikir manusia yang seolah hendak menyamai/ngembari kemampuan tuhan, dengan berbagai temuan dan produk teknologinya yang sebenarnya tidak ada apa-apanya. Sehingga banyak diantaran kita, menciptakan tuhan-tuhan pribadi berupa ide-ide jeniusnya, teknologinya, kekuasaannya, harta benda kekayaannya dan sebagainya, namun sama sekali kosong dan dangkal akan makna.

Tidak puas dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu mengembangkan Ketuhanan Yang Bersekutu dengan Nafsunya. Tuhan-tuhan yang mereka sembah tidak lain hanyalah pengejowantahan watak ke-akuannya kental, dalam rangka mengembangkan peradaban daging, yang tidak lain bertujuan mengejar nikmatnya makan, kekuasaan, harta benda dan syahwatnya. Semoga di tahun baru ini kita semakin maju dengan ketauhidan yang tetap menyatu dalam

Qalbu.(oleh:el-pitu)


0 Responses

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda...