-->
Seven


Ngemposke Roso


Hari bergulir, bulan pun berganti. Kembali umat Islam diseluruh pelosok bumi ini dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan. Ada yang menyambut dengan gembira, ada yang merasa biasa saja, ada pula yang mungkin kurang atau bahkan tidak suka. Yang demikian itu tidak lain tergantung dari tingkat dan kulaitas keimanan masing-masing diri. Puasa ramadhan memang merupakan salah satu ibadah ekseklusif, sebab puasa adalah ibadah yang oleh Allah sendiri diwajibkan untuk hamba-hambanya yang merasa beriman. Tentunya pun hanya hamba yang benar imannya saja yang akan benar-benar terpanggil. Sebagaimana fiman_Nya dalam Alqur’an Surat Albaqarah ayat 183 : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Nah…apakan kita sudah merasa terpanggil???

            Puasa dalam pengertian umumnya diartikan menahan diri dari makan dan minum dan hal-hal yang dapat membatalkannya mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari (Maghrib). Pengertian yang demikian memang tidak salah, namun semestinya dimengerti lebih lanjut bahwa puasa bukan sekedar menahan dari makan dan minum dan aspek-aspek lahiriah saja, namun juga meliputi semua aspek dalam diri seseorang lahirah dan batiniah, keduanya harus dipenuhi dijalankan secara simultan, bebarengan, bersamaan sehingga  tujuan puasa membentuk hamba yang “muttaqin”, hamba yang bertaqwa dapat tercapai. Hamba yang demikian adalah hamba yang punya komitmen ilahiah, tadhoru’an wakhifatan dalam kondisi apapun, dimanapun, dan kapanpun. Dan…itu diperlukan latihan yang salah satuna yakni melalui puasa.

            Segaimana uraian di atas, adanya puasa ramadhan merupakan media yang sangat efektif yang disediakn Allah bagi hamba-hambanya yang benar-benar ingin berjihadunafsi memerangi hawa nafsunya yang tidak lain adalah wujud jiwa raganya sendiri, agar dapat dijadikan tunggangan kembali kapada_Nya dengan selamat. Dengan puasa ramadhan raga dilatih untuk topo (noto amrih pono) noto = menata; pono= bagus, baik. Jadi raga ditata, dilatih supaya baik, bagus supaya patuh dan tunduk dijadikan tunggangan marek maring Allah. Sebab bila tidak justru ia akan menjerumuskan manusia pada watak iblis yang aba wastakbara (acuh dan menyombongkan diri). Serta menghinakan manusia pada derajat hewani yang maunya hanya mengejar nikmatnya makan dan syahwat, sedang kepada sang pemberi nikmat sama sekali tidak mau tahu.

            Puasa juga melatih diri untuk membenamkan diri kepada kesadaran ke dalam diri betapa dirinya sebenarnya hanyalah makluk yang apes, faqir yang tidak punya kekuatan dan daya apapun melainkan Illa Billah, oleh dan dengan daya kuat Allah. Dengan kesadaran yang demikian, sebenarnya yang dilatih, ditapani adalah rasa hatinya supaya bisa poso (ngemposke roso), ngempos berarti berhenti sejenak untuk instirahat. Lalu mengapa rasa perlu ngempos dan ngempos dari hal apa??? Perlu dimengerti bahwa hati nurani yang di dalamnya ada rasa, merupakan inti fitrah manusia yang juga merupakan belahan fitrah_Nya tuhan sendiri. Pada hakekatnya rasa ini harus difungsikan hanya untuk mengingat, menghayati dan merasa-rasakan ada dan wujud Dzat yang wajibul wujud yang amat sangat dekat sekali dalam rasa hati manusia. Sebab dalam kesehariannya ternyata rasa tadi hanya habis untuk merasakan segala hal ihwal dunia saja. Merasakan pedasnya sambal, lezatnya makan, merasakan iri hatinya, dengkinya, amarahnya, kecewanya dan seambrek res-res hawa nafsu yang ujung-ujungnya hanya menambah sempit dadanya seolah sedang mendaki langit, menambah gelap dan butanya mata hati dari mendzikiri_Nya.

            Oleh karenanya dengan puasa ramadhan itu, rasa dilatih untuk ngempos, dihentikan. Untuk kemudian dikembalikan pada fungsi aslinya yakni untuk dan hanya untuk mengingat-ingat Dzat yang Allah asmanya yang tersimpan dalam kalimatan baqiyatan, isinya Huwa. Prose yang demikian itu disebut dengan tasfiyatul Qalbi, membersihkan, membeningkan hati. Pada akhirnya hati akan dapat kembali pada keadaan fitrah yang suci. Disitulah letak makna Idul Fitri, kembali pada fitrah setelah melalui proses Puasa “poso”. Pantasalah  junjungan kita Nabi Muhammad SAW pernah mensabdakan bahwa seandainya saja umat Islam mengetahui kemulian ramadhan pastilah ia ingin seluruh bulan dalam setahun itu dijadikan ramadhan semua.

oleh:el-pitu.::(pondoksufi-tanjung)::.

Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda...