-->
Seven

Rahasia Terbesar ”QURBAN”
(oleh: el-pitu)

Tak ada satu hal apapun yang terjadi didunia ini tanpa suatu maksud dan tujuan serta hikmah dari sang sutradara semesta raya. Begitupun dengan dengan peristiwa pengurbanan seorang hamba kepada Tuhannya, menjadi catatan emas dalam sejarah umat manusia yang dilakonkan oleh dua orang kekasih Allah, Ibrahim Alaihissalam dan putra tercintanya Ismail Alaihissalam. Meskipun tidak semua orang khususnya umat islam yang dapat mengetahui hikmah tersebut. Karena memang hanya Allah sendiri yang mengetahui sepenuhnya rahasia dan hikmah seluruh peristiwa yang telah dan akan terjadi. Namun demikian sudah seharusnya kita belajar dan merenungkan hal itu guna memperkuat dan mempertebal iman dan aqidah keislaman.

Hikmah-hikmah peristiwa dalam sejarah kenabian dan kerosulan sendiri ada yang diungkap dalam kitab suci Al-Quran atau sunnah Rasul, ada pula yang tidak disinggung sama-sekali. Bagian hikmah yang tidak disinggung ini, hanya dapat diketahui dan dihayati oleh kalangan tertentu, yang dalam Al-Quran dinamakan Arrasikhuuna fil-‘ilmi, yakni mereka yang kuat imannya dan kelebihan ilmu oleh Allah, yang tidak diberikan kepada orang lain (QS Ali Imran, 3:7)

Adaun di antara hikmah ibadah Qurban, ialah untuk mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah atas segala kenikmatan yang telah dilimpahkan-Nya yang jumlahnya demikian banyak, sehingga tak seorangpun dapat menghitungnya (QS Ibrahim, 14:34). Hikmah secara eksplisit dan tegas tentang ibadah qurban ini, telah diungkapkan dalam Al-Quran:
"… maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta)dan orang yang minta.
Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu,
Mudah-mudahan kamu bersyukur" (QS Al-Haj, 22:36)

Hikmah selanjutnya adalah dalam rangka menghidupkan sunnah para nabi terdahulu, khususnya sunnah Nabi Ibrahim, yang dikenal sebagai Bapak agama monoteisme (Tauhid), Ibadah qurban berasal dari pengurbanan agung yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap puteranya guna memenuhi perintah Allah. Allah sangat menghargai dan memuji pengurbanan Nabi Ibrahim yang dilandasi oleh iman dan taqwanya yang tinggi dan murni, kemudian mengganti puteranya Ismail yang akan dikurbankan itu dengan seekor hewan domba yang besar (QS Ash-Shaffat, 37:107).

Dan hikmah berikutnya adalah dalam rangka menghidupkan makna takbir di Hari Raya Idul Adha, dari tgl 10 hingga 13 Dzul-Hijjah, yakni Hari Nasar (penyembelihan) dan hari-hari tasyriq. Memang Syari-at agama kita menggariskan, bahwa pada setiap Hari Raya, baik Idul Fitri ataupun Idul Adha, setiap orang Islam diperintahkan untuk mengumandangkan takbir. Hal ini memberikan isyarat kepada kita, bahwa kebahagiaan yang hakiki, hanya akan terwujud, jika manusia itu dengan setulusnya bersedia memberikan pengakuan dan fungsi kehambaannya di hadapan Allah s.w.t. dan dengan setulusnya bersaksi bahwa hanya Allah sajalah yang Maha Besar,Maha Esa, Maha Perkasa dan semua sifat kesempurnaan lainya.

Kebahagiaan yang sebenarnya akan tercapai, apabila manusia menyadari bahwa fungsi keberadaannya didunia ini hanyalah untuk menjadi hamba dan abdi Allah, bukan abdi dunia, ataupun abdi setan (QS Al-Dzarriyat, 51:56), bukan pula abdi bagi nafsu yang tidak lain adalah wujud jiwa raganya sendiri, yang kental dengan sifat iblis yang abaa wastakbaro(acuh dan menyombongkan diri).

Di samping itu semua, Hari Raya Qurban pun merupakan Hari Raya yang berdimensi sosial kemasyarakatan yang sangat dalam. Hal itu terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan yang akan dikorbankan, para mustahik yang akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul. Mereka satu sama lainya meluapkan rasa gembira dan sukacita yang dalam. Yang kaya dan yang miskin saling berpadu, berinteraksi sesamanya.

Agama mengajarkan bahwa semua ibadah hendaknya dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah (QS Al-An’am, 6:162-163). Tak terkecuali ibadah haji dan ibadah Qurban. Karena hanya dengan niat yang terikhlaslah, akan terjamin kemurnian ibadah yang akan membawa pelaksanaannya dekat kepada Allah. Tanpa adanya keikhalsan hati, mustahil ibadah akan diterima Allah (QS Al-Bayyinah, 98:5)

Dalam kaitan dengan ibadah qurban, Allah menegaskan bahwa daging hewan yang diqurbankan itu tidak akan sampai kepada-Nya, hanyalah ketaqwaan pelaksana qurban itu (ketaqwaan yang bermakna kesedian dengan ihlas secara totalitas untuk tunduk patuh atas perintah-Nya khal mayyitilghosili/seperti mayat yang sedang dimandikan, dengan mengurbankan segala bentuk keakuan akan ako-akon/rasa memiliki perihal dunia, untuk diserahkan pada KeAkuan Tuhan sebagai sang empunya segalanya). Jadi Allah tidak mengharapkan daging dan darah hewan qurban itu, tetapi MENTAL KETAQWAAN (yang bersumber dari keihlasan serta rasa syukur yang sejati murni yang merupakan inti ibadah), dan hal ini tidak akan tumbuh melainkan di hati hamba-Nya yang diridhoi dan ditarik dengan belas kasihnya.

Dan agar supaya kita dijadikan hamba yang ditarik dengan ridho dan kasihnya itu, maka kita harus terus belajar dan menyadari bahwa kita adalah hamba yang Al Faqir, yang mana jangan kan untuk bekerja dan berkarya, berharta benda hingga mampu berqurban, bahkan bernafaspun tidak bisa tanpa daya dan kekuatan-Nya, lebih celakanya lagi bahwa ternyata dengan daya dan kekuatan-Nya itu ternyata hanya kita gunakan untuk menambah salah dan dosa, kesadaran semacam inilah yang harus selalu kita tanamkan dalam hati, sebagaimana dicontohkan Nabi Nuh ketika berada dalam perut ikan dengan ungkapannya “Laa ilaha illa anta subkhanaka inni kuntun minaddolimin” sehingga sepenuh hati sadar “Laa khaula walaa quwwata illa billah” Inilah yang dimaksud rahasia terbesar dalam memaknai ibadah qurban.

Ibadah qurban mempunyai hikmah untuk membersihkan hati agar menjadi lahan yang subur untuk tumbuhnya iman dan taqwa. Dengan demikian, dimensi keikhlasan sudah seharusnya menjadi landasan setiap amal perbuatan manusia, agar manusia mengorientasikan kehidupannya semata-mata untuk mencapai ridha Allah s.w.t. Dengan ikhlas beramal, berarti seseorang membebaskan dirinya dari segala bentuk rasa pamrih (dalam hal duniawi maupun ukhrowi) dan segala bentuk keakuan nafsu, agar amal yang diperbuat tidak bernilai semu dan bersifat palsu. Dengan keikhlasan, seseorang dapat mewujudkan amal sejati. Kesejatian setiap amal diukur dari sikap keikhlasan yang melandasinya.

Dan kesediaan berqurban yang dilandasi rasa keikhalan semata-mata, dapat mengurangi atau mengekang sifat keserakahan dan ketamakan manusia yang merupakan sifat bangsa hewani yang dalam ibadah qurban disimbolkan untuk disembelih(dimatikan/dibersihkan dari hati), setidaknya kecenderungan itu dapat dieliminir dengan membangkitkan kesadarannya agar bersedia berqurban untuk sesamanya. Kesediaan berqurban mencerminkan adanya pengakuan akan hak-hak orang lain, yang seterusnya dapat menumbuhkan rasa solidaritas sosial yang tinggi.

Dengan syari’at qurban ini, kaum muslimin dilatih untuk menebalkan rasa kemanusiaannya, mengasah kepekaannya dan menghidupkan hati nuraninya. Ibadah qurban ini sarat dengan nilai kemanusiaan, mengandung nilai-nilai sosial yang tinggi serta nilai tertinggi aqidah ketauhidan.




Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda...