-->
Seven

Pernahkah anda dihadapkan pada suatu soal pilihan berganda yang nyleneh yang intinya berapakah 2+2? Ada beberapa jawaban disitu, dua diantaranya adalah 4 dan jawaban yang satunya adalah “Tidak Tahu”. Mengapa bisa “Tidak Tahu” karena ternyata memang benar bahwa jawabannya adalah “Tidak Tahu”. Kok bisa begitu? Ternyata memang pertanyaan itu sangat menjebak logika kita. Khususnya kalau kita semata-mata Cuma sekedar menyandarkan pengertian angka-angka dalam satuan desimal 1,2,3,4,5,6,7,8,9,0 atau puluhan. Ternyata apa yang kita sebut sebagai puluhan tak lebih dari suatu konsensus kita bersama untuk menyatakan suatu gagasan angka tambah, kurang, kali, bagi dan gabung dengan batasan maksimum 10 satuan (termasuk 0). Artinya jawaban 2+2 menjadi “Tidak Tahu” karena tidak disebutkan dalam soal tersebut sistem satuan bilangan apa yang dijadikan acuan atau referensi.
Gagasan dasar soal yang saya ilustrasikan di atas sebenarnya sangat mendasar yaitu apapun yang kita sebut bilangan sepertinya hanya sekedar sesuatu kaidah yang disepakati. Sehingga tidak bersifat absolut, namun bersifat relatif. Dalam hal angka, maka angka boleh dikatakan lebih absolut dibandingkan dengan huruf dan bahasa yang beraneka ragam digunakan di seluruh dunia. Bahasa angka nyaris seragam digunakan di seluruh penjuru dunia. Dalam arti tidak ada satu negarapun yang menolak sistem desimal atau puluhan sebagai dasar perhitungannya. Meskipun demikian, sistem desimal masih bersifat relatif. Lantas apakah ada bilangan yang absolut? Jawaban itu muncul kemudian ketika teknologi elektronik atau dijital mengusulkan suatu gagasan satuan bilangan baru yang sangat mendasar yaitu bilangan berdasarkan satuan angka 2 atau biner. Maka angka 2 pun ketika diterjemahkan dengan satuan biner atau 2-an kemudian menjadi 10 (2/2=1 sisa 0 sehingga diperoleh dalam satuan biner angka desimal 2 sama dengan 10). Keunggulan biner ternyata sangat mendasar karena dengan kode biner ini sinyal-sinyal elektrik 0 atau 1 menyatakan suatu kondisi logis “off” atau “on” alias hidup dan mati dan juga selaras dengan realitas kehidupan seperti adanya siang malam,gelap terang, pria wanita dan sebagainya. Pada akhirnya seluruh informasi dan pengetahuan manusia yang didijitalkan pun Cuma sekedar rangkaian 010101 semata.

>> Tauhid dan Era Dijital
Bilangan biner inilah yang kemudian diterjemahkan menjadi lebih universal, sangat ruhaniah, dan barangkali Von Neuman yang menjadi bapak komputasi numerik yang melahirkan cara-cara simbolis matematis era dijital memperoleh gagasan dari pengertian ruhaniah agama-agama Timur tentang kaidah Tauhid Nol dan Satu, sebagai kaidah paling dasar yang menauhidkan Tuhan Yang Maha Esa. 0 dan 1 adalah Tiada Tuhan Selain Yang Satu yang dalam agama Islam menjadi “Laa Ilaaha Ilallaah” yang tersusun dari dua kalimat yakni kalimat Nafi(peniadaan)”Laailaha” yang berarti dunia dan segala wujud dan rupa itu sebenarnya tidak ada, dan kalimat itsbat(penetapan) ”illa Allah” yang berarti bahwa yang sejatinya ada dan wujud itu hanya Allah semata. Tanpa kita sadari, sebenarnya ateisme sudah rontok dengan lahirnya era dijital dan menjadi ideologi yang kuno dan basi karena ilmu pengetahuan modern lahir berdasarkan Tauhid yaitu 01.
Kalau kita lihat kenyataan saat ini semua pengetahuan manusia yang didijitalkan maka semuanya akan melulu kombinasi 10101010 yang tak lebih dari pernyataan bahwa semua ilmu pengetahuan adalah ilmu pengetahuan Allah Yang Maha Esa. Ketika Anda melihat televisi, mendengarkan radio, berselancar di internet, melihat situs ini itu, mengetikkan e-mail, menulis artikel, atau apapun aktivitas yang Anda lakukan dengan perangkat elektronik maka semua itu tak lebih dari sinyal-sinyal 10101010... Dalam kenyataan yang lebih mengejutkan, tubuh kita dan otak kitapun tak lebih dari biokomputer yang menguraikan semua tangkapan sistem inderawi kita dalam kode-kode biner 101010 dari semua informasi dan pengetahuan yang kita ekstrak melalui cahaya yang tertangkap sinyalnya dari sekeliling kita. Apakah indera itu mata, telinga, hidung, kulit ataupun perasaan kita, semua itu tak lebih dari kode-kode biner atau suatu penauhidan atas Allah Yang Maha Esa.
Kalau saja filsafat materialisme-ateisme tidak memperkosa kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, sehingga saat ini umumnya orang mengira ilmu pengetahuan bisa berjalan tanpa Tuhan, maka realitas angka sebagai suatu simbolisme ruhaniah dapat dengan mudah dicerna banyak orang. Dalam satuan biner kita melihat hakikat dari semua ilmu pengetahuan yang dengan komputerisasi Cuma sekedar angka–angka yang menauhidkan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam satuan desimal, angka-angka misterius yang unik terlahir sebagai bilangan Prima, yaitu angka yang tak bisa habis dibagi kecuali oleh angka satu dan dirinya sendiri. Yang menarik, suatu konsensus sudah dicapai bahwa angka 1 bukanlah disebut bilangan prima. Jadi, angka 1 sangat unik yang secara tidak langsung inipun tanpa disadari banyak orang, menjadi pernyataan tauhid juga. Dalam satuan desimal, bilangan prima adalah angka 2,3,5,7,11,13,17,19,23 dst. Yang jumlahnya hingga sekarang tidak berhingga.
Sejauh ini berbagai pengetahuan praktis yang berhubungan dengan teknologi elektronik dikembangkan dengan keunikan bilangan prima ini, misalnya teknologi keamanan komputer dan identifikasi lainnya yang memerlukan keunikan-keunikan. Bahkan, bagi umat Islam , bilangan prima sangat erat kaitannya dengan kitab suci al-Qur’an. Inilah yang tersirat dalam beberapa hadis dan ayat al-Qur’an yang mengatakan Allah adalah ganjil, dan menyukai yang ganjil-ganjil.
Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu.
(QS 89:1-4)
Maka dalam banyak kajian ilmiah al-Qur’an, muncul satu cabang pengetahuan yang sebenarnya terkait dengan kodefikasi penomoran surat dan ayat, jumlah, dan bilangan lainnya yang disebut ‘Ijaz ‘Adadi. Bukan suatu kebetulan juga bahwa angka 5, 7, 11, 17, 19 dan beberapa angka lainnya nampaknya akrab dengan peribadahan Umat Islam. Bahkan dalam beberapa ayat diinformasikan hitungan satu demi satu bahwa,
”Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (QS 72:28).
Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.(QS 21:92)
Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.(23:52)
Dan yang secara jelas sebagai ungkapan tauhid adalah surat al-Ikhlas, Katakanlah: ”Dia-lah(huwa) Allah, Yang Maha Esa, (QS 112:1)
Ketika saya mencoba melihat bilangan prima dan satuan biner(2), suatu pengertian mendasar muncul bahwa sebenarnya bilangan prima pun muncul dari angka 1. Maka semua bilangan baik dalam satuan apapun akan selalu berasal dari yang satu jua termasuk konsepsi penciptaan yang akan saya uraikan dari angka 1 ini dengan suatu landasan berdasarkan Tauhid dan kalimat Basmalah yang melimpahkan rahmat dan kasih sayang, kekuatan dan pertolongan Allah SWT yang tak pernah habis dibagi kecuali oleh diri-Nya Sendiri.
Dari pemahaman matematis, Basmalah tak lain merupakan pernyataan yang menunjukkan suatu pelimpahan, pemberian, sokongan, dan terminologi pelimpahan dan pemberian kekuatan lainnya yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa matematis menjadi +, x, /, dan u yaitu tambah, kali, bagi, dan gabung, tidak ada pengurangan yang menunjukkan bahwa sifat pengurangan tak pernah ditampilkan dalam Basmalah yang ada semuanya adalah limpahan rahmat dan kasih sayang Allah SWT. Pengertian ini juga membuktikan bahwa beberapa rumus elementer dan konstanta alam fisika modern) dapat menyajikan suatu uraian Tauhid yang memetakan Al Qur’an sebagai Kosmos Islam dari angka 1 sebagai Allah Yang Maha Esa kemudian memetakan ulang rangkaian surat dan ayat-ayat al-Qur’an yang ternyata memang di susun sesuai dengan bagaimana alam semesta dan semua isinya ini diciptakan oleh Allah SWT. Khususnya dalam kaitannya dengan peran manusia, alam semesta dan Tuhannya seperti telah diisyaratkan dalam firman-firman berikut : Surat Asy-Syuuraa ayat ke 53 (QS 41:53) yang berbunyi:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami pada segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri,...”
Kemudian pada surat Adz Dzariyaat ayat 20-21 QS 51:20-21): “dan di Bumi ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi yang yakin. Dan (juga) pada diri kamu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan.”
Dan surat Ar Ra’du 11 (QS 13:11): ”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”.
Rangkaian ayat-ayat Al Qur’an diatas sebenarnya hendak menegaskan kepada manusia suatu hubungan kosmologis dengan memahami dan mengetahui apa yang ada di dalam diri sendiri (yakni fitrah manusia yang merupakan fitrah Allah sendiri ”al insaanu sirrun, wa ANA sirruhu”), apa yang ada di langit dan bumi, dan apa yang dikatakan Tuhan semesta alam. Ringkasnya, rangkaian ayat-ayat diatas dapat disimpulkan sebagai suatu petunjuk, “Wahai manusia, kenalilah dirimu sendiri, kenalilah alammu, kenalilah Tuhanmu, kenalilah masamu dan masyarakat serta sejarahmu supaya engkau mengenali siapakah dirimu itu, darimanakah engkau berasal, mau kemanakah engkau akhirnya, dan ngapain di dunia ini.” Sebab ”Man ’arofa nafsahu, faqod ’arofa robbahu, waman ’arofa robbahu faqod jahula nafsahu”. Untuk itu maka ”Fas’aluu Ahla Ad-Dikri inkuntum laa ta’lamuun.
(By:pitu)
.::Atmonadi,Risalah Tauhid:Prima Kausa(1)::.
0 Responses

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda...